Heritage vs Modern?

Beberapa bulan terakhir ini, ada pertanyaan yang mengganjal di otak saya. Sebenarnya, bagaimana pendapat arsitektur modern terhadap bangunan-bangunan kuno atau heritage (saya masih belum paham mengapa harus diterjemahkan menjadi pusaka–rasanya seperti terlalu mendewakan bangunan tersebut); termasuk dengan konteksnya di masa depan.

Ada dua pendapat menarik yang saling bertentangan mengenai bagaimana seharusnya bangunan heritage diperlakukan. Yang pertama adalah, bangunan-bangunan kuno itu seharusnya memang dilestarikan, dikembalikan kondisinya seperti semula. Karena dengan demikian kita bisa mempelajari secara langsung teknologi yang berkembang di masa itu (–tidak hanya mempelajarinya di buku-buku sejarah arsitektur semata, tapi bisa merasakan dan menikmatinya langsung), dan mengambil hal-hal positif yang ada untuk diterapkan dan dimodifikasi kembali untuk kemajuan arsitektur ke depannya.

Pendapat yang kedua menganggap bahwa “kematian” bangunan-bangunan heritage merupakan sesuatu yang alamiah, sama seperti kelahiran dan kematian di dunia ini–ada yang lahir, dan suatu saat akan mati. Analoginya, jika memang bangunan heritage itu sudah “sekarat”, di tengah ke”renta”anya apakah memang harus kita lakukan kemoterapi sampai sembuh, lalu jika sembuh, haruskah kita melakukan injeksi botox agar mengembalikan “kemudaan”-nya, dan memperkerjakannya kembali seperti dahulu? Pendapat ini lebih sepakat bahwa kematian bangunan heritage adalah sesuatu yang wajar dan memang perlu digantikan dengan sesuatu yang baru, kelahiran suatu kehidupan baru.

Dua pendapat yang bertentangan ini masih berkecamuk dalam pikiran saya. Memang secara konteksnya di Indonesia saat ini, pendapat “kematian-bangunan-kuno-adalah-wajar” sudah terlanjur diterapkan secara berlebihan. Menurut saya, demolisi memang pastilah diperlukan, tapi hanya di kasus-kasus tertentu–dengan sistem “tebang pilih” tentunya. Sudah banyak contoh berhasil tentang revitalisasi dan juga konservasi bangunan kuno yang sukses, mengapa kita harus mengorbankannya demi slogan “rasionalitas yang bebas nilai”?

Heritage vs Modern?